Apakah demokrasi otomatis membawa perbaikan nasib rakyat miskin?
Jawabnya: tidak selalu. Buktinya, nyaris sepuluh tahun kita menjalani era demokrasi, tapi faktanya nasib kaum miskin tetap saja merana. Petani, buruh, buruh tani, pedagang kaki lima, pengusaha lemah, penganggur, justru makin hari kian sulit mengusahakan penghidupannya.
Janji-janji parpol atau politisi yang begitu meninabobokan kaum miskin selama kampanye, seolah sah-sah saja jika tidak direalisasikan seusai pemilu.
Elite politik lalu sibuk sendiri dengan agenda pembagian jatah kursi, pencapaian target pertumbuhan ekonomi tinggi, ataupun program-program elitis lainnya. Sedangkan kaum miskin dilupakan begitu saja, kecuali dengan sejumlah kecil program karikatif seperti bantuan langsung tunai atau beras keluarga miskin (raskin) –yang lebih terkait politik pencitraan pemerintah belaka dan hampir tak berdampak pemberdayaan ekonomi rakyat miskin.
Melalui demokrasi, rakyat miskin secara politik memang berdaulat. Tapi tidak demikian dalam lapangan ekonomi. Kaum papa memang leluasa memilih parpol atau wakilnya selama pemilu. Namun begitu pemilu rampung, wong cilik harus menghadapi lagi kenyataan: nasib mereka tak juga lebih baik.
Bahkan, tak sedikit kaum miskin yang justru merasakan, sesudah era demokrasi, nasibnya malah lebih buruk: jadi korban PHK, diubah statusnya dari karyawan tetap menjadi buruh kontrak, menjadi petani padi yang terus merugi, bangkrut karena kalah bersaing dengan usaha raksasa transnasional, atau digusur lokasi usahanya demi ketertiban kota.
Maka tepat jika para bapak bangsa kita, seperti Soekarno-Hatta, sejak dini mengingatkan: demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi, hanya akan menyandera kaum miskin tetap abadi dalam ketidakberdayaannya.
Lantas, yang jadi soal, bagaimana mengoptimalkan demokrasi politik agar melahirkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi? Bagaimana agar proses politik demokratis mampu memperbaiki nasib kaum yang paling miskin dan terpinggirkan?
Di sini mestinya dipahami bahwa hidup sejahtera ialah salah satu hak asasi rakyat. Dengan demikian, demokrasi ekonomi dengan sendirinya meniscayakan hak setiap rakyat untuk disejahterakan kehidupannya oleh penyelenggara negara.
Sebaliknya negara atau pemerintahan, seperti disinggung Pembukaan UUD 45, wajib melakukan kegiatan bagi terpenuhinya hak hidup sejahtera atau kesejahteraan umum tersebut.
Rabu, 13 Mei 2009
demokrasi dan rakyat
Diposting oleh vs-bapas di 20.20
Label: demokrasi dan rakyat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar